Facebook Twitter Google RSS
Showing posts with label KILAS GAMPONG. Show all posts
Showing posts with label KILAS GAMPONG. Show all posts

Wednesday 8 October 2014

Kecelakaan Maut Satu Keluarga Warga Lhoksukon Meninggal

Unknown     21:32  
Lhokseumawe - Kecelakaan tragis terjadi di Jalan Lintas Medan-Banda Aceh, tepatnya di Desa Blang Gleum, Kecamatan Julok, Aceh Timur, Selasa sore, 7 Oktober 2014.

Kecelakaan itu melibatkan Toyota Avanza dengan mobil penumpang yang dikenal dengan nama Jumbo oleh penduduk setempat. Satu keluarga warga Aceh Utara meninggal, termasuk bayi 1 tahun.

Insiden tragis yang merenggut lima orang warga Lhoksukon Aceh Utara itu berawal pada pukul 16.00 WIB. (Baca: Selalu Ada Kecelakaan Mobil Mewah di Jakarta)

Saat itu, angkutan umum jenis Jumbo dengan nomor polisi BL-7543-ND yang dikemudikan oleh Syaharuddin, 35 tahun, warga Desa Sama Dua, Kecamatan Peudawa Aceh Timur, melaju dari arah Lhokseumawe menuju Idi. Tiba-tiba, dari arah berlawanan, melaju satu unit mobil Toyota Avanza berpelat nomor BL-792-NN warna hitam yang disopiri Ridwan, 49 tahun, warga Arun Lhoksukon, Aceh Utara, mengambil jalur kanan.

Kecelakaan pun tak terhindarkan. Kendaraan Syaharuddin langsung bertabrakan dengan Avansa. Akibatnya, penumpang Avanza, Ridwan, 49 tahun, bersama istrinya, Salbiah, 28 tahun, warga Aron Lhok Sukon, Aceh Utara, bersama tiga anaknya yang masing-masing berusia 1 tahun, 2,5 tahun, dan 3,5 tahun tewas di tempat.

Sedangkan tujuh penumpang jumbo menderita luka-luka dan dirawat di tiga rumah sakit, termasuk di RSU Daerah Idi, Aceh Timur. Insiden kecelakaan ini dalam penanganan Kepolisian Resor Aceh Timur. Mobil penumpang Jumbo dan Avanza yang remuk bagian depan telah ditarik ke kantor polisi.
IMRAN MA | TEMPO

Saturday 15 September 2007

Kilas Gampoeng : Suara Mereka Yang Berharap Damai

Unknown     04:34  
Reporter: Misrie - Aceh Utara

Nasir berharap perundingan Helsinki ini bisa menghasilkan sebuah keputusan yang memberikan kedamaian dan keamanan di Aceh. Dia tidak berharap muluk-muluk. “Ya bisa bebas mengunjungi saudara di kampung, tanpa razia,” kata bapak enam anak ini.

Basyir, sebut saja begitu nama pria berumut 47 tahun itu. kulitnya hitam legam, pertanda ia memang sering dibakar terik sinar surya. Sambil duduk di atas becak mesin jenis KW, ia sigap melihat ke kiri dan kanan, mencari penumpang. Raut lelah terpancar jelas di wajahnya berpeluh. “Baru 15.000 saya dapat hari ini.

Sulit cari penumpang sekarang, karena kebanyakan becak,” kata Basyir kepada acehkita, Selasa (12/4). Sudah delapan tahun terakhir ini, Basyir bergelut dengan becak mesin. Sebelumnya, pria ini sudah melanglang buana untuk mencari peruntungan yang lebih baik, di beberapa kota di nusantara.

Namun, daerah tetap saja ia tergoda untuk kembali ke tanah kelahirannya. Padahal, di tanah kelahirannya, ia pernah menelan pil pahit konflik berkepanjangan. Ia kemudian memulai kisah kepahitan yang dituai. Pada tahun 1990, ia ditangkap dan disiksa dengan tuduhan membantu anggota Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), sebuah label yang diberikan pemerintah kepada Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

“Tiap malam mereka mengancam akan mencabut kuku saya,” katanya, mengenang. Tujuannya, untuk membuat supaya Basyir memberi pengakuan bahwa dia terlibat GAM. “Saya bukan GAM. Waktu itu yang warga Aceh semua bisa dituduh GAM,” terangnya. Setelah tak mendapat pengakuannya, Basyir dilepas.

Basyir hidup pas-pasan. Sebagai penarik becak, dia tidak punya banyak penghasilan, layaknya pegawai negeri dan pengusaha. Di usianya sekarang, dia masih mengontrak rumah. Konflik berkepanjangan di Bumi Seulanga menambah daftar panjang kesusahannya dalam mencari rezeki. Ia senang ketika kabar dialog antara GAM dan RI sampai ke telinganya.

“Ini kan udah dialog lagi,” katanya kepada acehkita, sambil bangkit dari becaknya. Namun, dia risau dengan pengalaman perundingan yang sudah pernah berlangsung, namun kandas di tengah jalan. “Dialog kemarin gagal, akhirnya pemerintah menanggapi dengan pemberian darurat militer. Namun, kalau dialog kali ini gagal, gimana?” risau Basyir.

Dia berharap perundingan di Helsinki ini bisa menghasilkan sebuah keputusan yang memberikan kedamaian dan keamanan di Nanggroe Aceh Darussalam. Dia pun tidak berharap muluk-muluk. “Ya bisa bebas mengunjungi saudara di kampung,” kata bapak enam anak ini.

“Sekarang kalau mau berkunjung banyak sekali masalah sweeping lah atau apa. Pokoknya serba tidak aman.” Basyir terus bercerita tentang kondisi daerahnya yang tidak terlalu kondusif.

Beberapa calon penumpang yang lalu lalang di depannya, dibiarkan saja. Menurutnya, kondisi masyarakat di pedalaman Aceh sangat tidak bersahabat. “Dialog memang harapan masyarakat. Tapi sepertinya dialog tidak ada ujungnya,” katanya. Harapan untuk segera hidup dalam damai juga disuarakan Ismail (40).

Nelayan asal Aceh Utara ini sangat berharap dialog di Helsinki bisa membawa angin segar ke Aceh. Karenanya, dia berharap baik pemerintah Indonesia dan GAM, tidak ngotot pada tuntutannya masing-masing. Ismail yang mengaku selalu mengikuti perkembangan dialog damai, mengatakan ada kesan pemerintah tetap ngotot dalam menawarkan otonomi khusus bagi GAM. Nah, kata dia, jika GAM menerima otsus, harus dipertanyakan khusus yang bagaimana.

“Bukankah sekarang sudah otonomi khusus?” tanyanya, “tapi tidak membawa perubahan apa-apa.” “Seperti kami nelayan, tidak ada untung apa-apa. Kesejahteraan bagi kami tidak ada. Bantuan untuk korban tsunami aja bisa ditilep, apalagi bantuan yang lain,” sergahnya. Lalu, apa harapannya?

“Saya tidak tahu harus mengharapkan apa sekarang, Dik,” katanya. Angin laut terus berhembus, juban (alat menjahit jaring) yang dipegangnya tak henti merangkai jejaring yang ada di depannya.

Beberapa nelayan yang ada tak jauh dari Ismail, terlihat sedang membersihkan boat dan melakukan perbaikan pukat untuk kembali berlayar. Pria berkumis tipis ini kembali bicara.

 “Tetapi agak enak sekarang tidak ada lagi suara senjata. Jika dulu kalau ada suara senjata di sekitar sini kami tidak bisa melaut,” katanya. Sementara itu, seorang pegawai negeri sipil di Lhokseumawe, Jamal, mengatakan kondisi di daerahnya saat ini sudah aman. “Sekarang sudah bisa keluar malam,” kata Jamal.

“Kalau otonomi khusus, gaji pegawai ditambah.” Zulhan, salah seorang mahasiswa semester akhir salah satu universitas di Lhokseumawe, menyambut baik dialog damai ini. Dia juga meminta para pihak yang bertikai untuk menghentikan segala kekerasan di lapangan. “Ini dialog jalan terus, warga tak hentinya ditangkap,” kata dia.

Dia juga memandang aneh, kendati Jakarta setuju berdialog dengan GAM, namun tak kunjung mencabut status darurat sipil di Bumi Seulanga itu. “Maunya itu (darurat sipil) dicabut dulu, baru dialog,” tambahnya.

Dia juga memandang, jika perundingan gagal dan pemerintah memaksakan penerapan otonomi khusus, “tidak juga selesai,” kata mahasiswa ini menambahkan. Jadi? [dzie]

Kilas Gampoeng" Siasat Hasrat dari Bawah Tenda

Unknown     04:20  
Aceh Utara, Acehkita -- Ada sebuah perasaan yang sangat mengganjal pikiran Ilyas selama mendekam di tenda pengungsian. Bukan perihal makanan yang tidak mencukupi, bukan pula ketiadaan uang untuk menafkahi istri dan anaknya. 
''Untuk yang lain, seperti makan atau minum, semuanya cukup. Namun yang satu ini sangat membingungkan kita,'' kata Ilyas, malu-malu. ''Apalagi lampu di tenda hidup terus 24 jam.'' ''Satu ini sangat membingungkan'' yang dimaksud Ilyas adalah keinginannya untuk memberi nafkah batin kepada sang istri tercinta. 
Sudah dua bulan ini, pasangan suami-istri ini terpaksa harus puasa untuk berhubungan badan. Pasalnya, kondisi di lokasi pengungsian sama sekali tidak memungkinkan mereka untuk menyalurkan kebutuhan biologis. 
Menurut pengungsi asal Kecamatan Samudera Geudong, Aceh Utara ini, di lokasi pengungsian sama sekali tidak memungkinkan untuk menyalurkan hasrat biologis. Hal ini disebabkan para pengungsi yang tidur di bawah tenda besar, secara ''berjamaah''. 
Tidak ada tirai pembatas antara satu keluarga dengan keluarga lainnya, dalam tenda besar itu. ''Untuk mendekati saja, kita takut dilihat anak-anak dan orang lain,'' kata Ilyas. Di lokasi pengungsian, sama sekali tidak disediakan bilik untuk menyalurkan kebutuhan suami-istri itu. 
Lain ceritanya dengan pengalaman pengungsian sebelum tsunami, saat konflik bersenjata di Aceh memuncak. Para pengungsi yang tinggal di kamp pengungsian, disediakan bilik khusus bagi pasangan suami-istri. Bilik tersebut dikenal dengan bilik ''nyelam''. 
Sekitar bulan Juli 2004 lalu, di saat beberapa anggota GAM yang mendapatkan pembinaan di Desa Reuleut, Kecamatan Muara Batu, pemerintah menyediakan beberapa bilik ''nyelam'' ini. 
Di bilik yang sangat privacy itulah, anggota GAM binaan menerima keluarga atau istrinya yang berkunjung. Tak jarang, hasrat biologis pun, disalurkan di sana. Namun, tidak demikian dengan di kamp-kamp pengungsian pascatsunami ini. 
Untuk keperluan bilik ''nyelam'' atau tempat indehoi ini, Ilyas mengaku pernah mengutarakan kepada Camat Samudera Geudong. Namun, Pak Camat hanya tersenyum saja, mendengar usul yang dilontarkan Ilyas. Atas sebab itulah, Ilyas tampaknya harus rela ''berpuasa'' lebih lama lagi.
''Hom hai, ureung inong ka geuniet geu KB laju (Entahlah, istri pun sudah berniat ini sebagai KB saja),'' ujar Ilyas. ''Kita pun begitu, ya harus sabar. Tapi berat juga, ya,'' Ilyas tersenyum. 
Ia tampak malu-malu. Nasib Mansur (33) agak lebih beruntung. Namun, suami beranak tiga ini terpaksa harus membayar mahal untuk melepaskan rasa kangen dengan istrinya. Lho? Ya, jika dia ingin melepas rindu, dia mengajak istrinya pulang ke rumah saudaranya. 
Nah, untuk ke rumah saudaranya itu, Mansur terpaksa harus menyediakan uang minimal Rp 20.000 untuk ongkos mobil pulang-pergi (PP). Uang sejumlah itu, bukanlah nominal yang kecil bagi Mansur, yang tidak tahu harus bekerja apa selama di kamp pengungsian. 
Namun, Mansur mau bekerja apa saja, supaya bisa melepaskan kangen suatu waktu bersama istrinya tercinta. ''Ya, saya bekerja apa saja, agar bisa pulang ke rumah saudara,'' kata Mansur, serius. Lain lagi dengan pengakuan Irma, sebut saja begitu namanya. 
Di kamp pengungsian Samudera Geudong ini, Irma tergolong pengantin baru. Enam bulan lalu, dia melangsungkan pernikahan dengan pria idamannya. Menurut Irma, dia menikmati bulan madunya di pengungsian. ''Terkadang ada enaknya juga berbulan madu di kamp pengungsian,'' kata Irma, tersenyum.
Pengungsi di RSU Cut Meutia termasuk yang beruntung dalam urusan yang satu ini. Para pengungsi dari Desa Kuala Meuraksa dan Jamboe Masjid ini, tidur di tenda-tenda bantuan ICRC (Palang Merah Internasiona) yang berukuran kecil. Tenda itu, diberikan per kepala keluarga. 
Salah seorang pengungsi di RSU Cut Meutia, Hamzah, mengaku tidak merasa kesulitan dalam memberikan nafkah bathin kepada istrinya. ''Antara kamp yang satu dengan lainnya, terpisah-pisah,'' kata Hamzah, sambil tersenyum sumringah. Sebelumnya, di kamp pengungsian Kaway XVI, Aceh Barat, panitia pengungsi pernah berpikir untuk menyediakan bilik ''nyelam'' ini. 
Munurut Faisal Rizal, komandan kompi yang menjaga posko pengungsi di Peureumeu, Kaway XVI, pihaknya sudah pernah menawarkan sebuah tempat isolasi kepada para pengungsi. Namun, katanya, para pengungsi terkesan malu-malu. Ilyas tentu merindukan apa yang didapat Hamzah dan pengungsi lain di RSU Cut Meutia.
''Jadi, maunya ada tempat untuk yang satu ''ini''. Tapi, malu juga, ya,'' ujarnya. ''Walaupun bahan makanan berkecukupan, terasa belum lengkap, jika belum tersalurkan yang satu ini,'' tambah Ilyas sambil tertawa lepas, yang disambut tawa lepas beberapa pria lainnya. ? Misrie

Kilas Gampoeng: Pengungsi yang (Diperintahkan) Tutup Mulut

Unknown     03:51  
Pengungsi yang (Diperintahkan) Tutup Mulut
Reporter: Misrie – Bireuen, 2005-01-10 09:18:49
Pagi itu, Kamis, 6 Januari 2005. Baru jam 11.00 WIB saat satu mobil yang bertuliskan “PERS” datang dari arah Lhokseumawe tujuan Banda Aceh. Sampai di Jeunib, Bireuen, mobil merambat pelan sambil menghidupkan lampu samping pertanda hendak berhenti. Ban membelok ke pinggir jalan, tepatnya di depan Meunasah Jeunib. Di situlah terdapat sebuah lokasi pengungsian.
Melihat ada wartawan datang, di sebuah tenda tengah dilakukan sebuah taklimat (pengarahan). “TNI melarang warga untuk mendekati dan berbicara dengan wartawan, alasannya kehadiran wartawan tidak ada untungnya,” ungkap seorang warga menirukan si pemberi taklimat.
Tapi para wartawan itu tak merasa apa-apa. Salah seorang dengan kamera foto turun dari mobil dan masuk ke gerbang meunasah yang disambut senyum warga di sana, sambil sedikit mengangguk pertanda “silahkan”.
Ada juga beberapa personel TNI yang bertugas jaga di sana. Tapi mereka tetap memasang muka ramah ke arah wartawan dan bahkan berjabat tangan. Beberapa wartawan itu sempat juga berbicara beberapa kata dengan tentara itu sebelum akhirnya mereka melangkah menyesuri tenda. Sebagian besar pengungsi mengumbar senyum, tetapi tidak berani mendekat, apalagi berbicara.
Sesuatu yang agak ganjil dalam dua pekan belakangan. Biasanya, wartawan justru menjadi tempat menumpahkan keluh kesah tentang segala pelayanan yang mereka terima di lokasi pengungsian atau bahkan menanyakan sanak saudara, keadaan kampung, bahkan meminjam handphone.
Tapi kali ini lain.
Seperti tak hirau, para wartawan menjepretkan kameranya. Dan seperti tak hirau pula, aparat pun terkesan tidak peduli. Setiap kali beradu pandang, mereka tetap memasang senyum. Tapi tak lama kemudian, bila dilirik dengan ekor mata, senyum itu hilang secepat hembusan nafas.
Jepretan kesekian kalinya ditujukan kepada seorang wanita yang sedang duduk termangu, kemudian ke arah beberapa orang yang duduk berkelompok sambil bercerita sesamanya. Si tentara terus memperhatikan tingkah si wartawan, yang sedang berputar mencari gambar. Ada relawan mahasiswa di sana, yang kabarnya sudah sejak hari Minggu (26/12), setelah mereka selesai mengevakuasi jenasah warga Samalanga yang diterpa tsunami.
Mula-mula tak ada tentara di lokasi itu. Para mahasiswalah yang tinggal dan membantu pengungsi sebisanya. Namun sejak Rabu (29/12), sejumlah personel TNI datang dan membentangkan spanduk asal kesatuan dan mengumumkan bahwa di sana ada posko bantuan milik TNI.
Spanduk milik mahasiswa yang semula terlihat di gerbang meunasah itu, kini raib. “Spanduk itu ditukar dan digantikan spanduk abang,” kata seorang mahasiswa berusaha menyapa akrab pasukan TNI itu.
Semua peraturan di kamp itu pun dirombak total. Begitu juga dengan bantuan yang kini harus melalui mereka. Semua itu terjadi dengan sendirinya tanpa ada yang berani membantah. Apalagi, setelah wartawan datang, peraturan bertambah satu, yaitu melarang warga berbicara kepada wartawan.
Nasib sial dialami Kek Kaoy yang sudah terlihat tua dan lemah dengan pendengaran yang sedikit terganggu. Kain sarung yang dipakainya sudah naik sedikit ke atas dan tidak rata antara muka dan belakang. Begitu juga dengan baju kemeja bantuan yang tampak kusut dan terlipat di sana-sini.
Dari sudut sebuah tenda ia bangun dengan sedikit gontai, hendak menuju ke samping wartawan yang sedang berdiri mencari informasi, jenis bantuan apa yang masih mereka butuhkan di kamp Meunasah Jeunib itu. Saat itu, wartawan sedang menanyai Ibu Darmi.
Saat itulah Kek Kaoy berusaha mendekat. Tapi langkahnya terhenti. Kening putihnya mengerut dan kakinya mundur ke belakang sebelum akhirnya duduk kembali sambil menunduk.
Seorang personel TNI samar-samar terdengar setengah membentak. “Masuk ke sana, kau!”
Setelah insiden itu, Helmi (nama samaran) menerangkan bahwa Kek Kaoy sebenarnya tidak mendengar adanya larangan untuk berbicara kepada wartawan. “Mungkin orang tua itu tidak lagi jelas pendengarannya. Ya gara–gara itu, Kek Kaoy dibentak dan mau tendang,” terangnya.
Helmi sendiri juga mengaku mulai curiga dengan pembatasan terhadap wartawan di kamp pengungsiannya. Apalagi di tempat lain, tidak ada pembatasan seperti ini.
Di kamp meunasah Jeunib saat ini ada sekitar 1.120 jiwa yang ditampung. Mereka adalah warga Pandrah yang mengungsi ke Jeunib.
Dengan semua keganjilan ini, tentu saja para wartawan itu saling menggerutu. “Sementara tentara negara asing sekarang membawa seluruh peralatan untuk bisa membuka akses Meulaboh dan sekitarnya, tentara kita masih sibuk melarang-larang wartawan,” sungut seorang wartawan. [dan]

Kilas Gampoeng: Mayat tak Dikenal di Bulan Ramadhan

Unknown     03:45  
21 April 2006
Mayat tak Dikenal di Bulan Ramadhan
Penulis : Tim acehkita.com – Aceh Utara, 2004-10-26 11:45:29

“Cukup baik nasib rakyat Aceh, satu persatu masuk kuburan,” begitu ungkapan getir yang disampaikan seorang lelaki setengah baya, usai menghadiri acara pemakaman jenazah Mr. X, Senin (25/10). Jenazah itu ditemukan Palang Merah Indonesia (PMI) Aceh Utara, Sabtu (23/10) di Desa Alue Lim, Kecamatan Blang Mangat, Lhokseumawe.
Mayat tanpa baju dan hanya memakai celana dalam berwarna merah itu, berbadan tegap dan diperkirakan berusia antara 25 hingga 35 tahun. Saat ditemukan, kondisinya sudah sedikit mengembung dengan tinggi badan berukuran 160 cm, dengan kulit hitam manis dan berkumis. Pria malang ini terbujur kaku di ruang mayat Rumah Sakit Umum Cut Meutia Lhokseumawe, sejak Sabtu (23/10) hingga Senin (25/10).Karena jenazahnya sudah mulai mengeluarkan ulat halus, pihak rumah sakit pun memutuskan untuk mengebumikannya.
“Ini memang sudah ketentuan pihak rumah sakit setelah tiga hari tidak berhasil dikenali atau tidak ada keluarga yang mencarinya, maka mereka berkewajiban mem-fardhukifayah-kan mayat tersebut,” ujar seorang petugas kamar mayat.Fardhu kifayah adalah hukum wajib bagi muslim untuk mengurus jenazah mulai dari memandikan, mengkafani, menyolatkan dan menguburkan.
Kepada wartawan, PMI mengungkapkan, pihaknya menemukan Mr. X pada hari Minggu (24/10) setelah mendapat informasi tentang adanya mayat di Desa Alue Lim, Kecamatan Blang Mangat, Lhokseumawe. Seorang warga masyarakat menelepon PMI ihwal ini.Sumber lain menyebutkan, jenazah tersebut ditemukan setelah secara kebetulan pada waktu yang sama, terjadi tabrakan dua unit sepeda motor masing-masing jenis Supra bernomor BK-2702-GN “melawan” Shogun bernomor BK-4150-GZ. Ketika pengendara Shogun terjatuh, dari belakang muncul Shogun lailn bernomor BL-3031-ZL yang menggilas korban.
Akibat tabrakan dan gilasan ban sepeda motor tersebut salah seorang pengedara Supra bernama Tgk Nasruddin menderita patah kaki, tulang hidung dan beberapa giginya copot. Sementara Muhammad Husni, pengendara Shogun pertama terkena aspal yang cukup keras di bagian kepalanya. Namun setelah beberapa saat di rawat di Unit Gawat Darurat, keduanya menghembuskan nafas terakhir.
Nah, jenazah Mr. X ditemukan setelah beberapa warga menolong korban tabrakan dan mencium aroma tak sedap di sekitar lokasi tabrakan. Telusur punya telusur, akhirnya ditemukanlah jenazah pria tanpa identitas tersebut. Lokasi temuan jenazah itu sendiri dikenal sebagai kawasan yang banyak dihuni pasukan pemerintah.
Tak seberapa jauh dari tempat itu ada sebuah Kompi Brimob, tepatnya di Desa Jeuleukat. Juga ada pos TNI di Komplek Permata Hijau dan masih ada beberapa lainnya yang mengelilingi kawasan itu. Lokasi tersebut memang termasuk daerah ramai karena tak teralu jauh dari pusat Kota Lhokseumawe atau sekitar 8 sampai 10 km arah selatan ibukota Kecamatan Simpang Kramat, Aceh Utara.
Sekitar pukul 22.00 WIB, beberapa warga yang sedang berada di rumah sakit Cut Meutia Buket Rata, Lhokseumawe sempat menjenguk kamar mayat yang terletak di sayap barat bangunan rumah sakit tersebut. Setelah dibuka dan secara seksama diperhatikan, tidak ada luka tembakan atau bekas penganiayaan lainnya, kecuali sebuah plastik yang membekap wajah dan tali yang menjerat leher korban.Dari temuan itu pihak rumah sakit memastikan korban tewas karena tak bisa bernafas.
Dari kondisinya, korban diperkirakan telah meninggal tiga hari yang lalu meninggal“Alah hai, buleun-buleun puasa, hana teodouh atra lagenyo (ya ampun, bulan–bulan puasa tidak berhenti hal seperti ini),” kata seorang warga prihatin.Akhirnya pada pukul 17.30, di tempat pemakaman Kuta Blang, jenazah Mr X dikebumikan. Proses penguburan hanya dihadiri sekitar sepuluh orang, yang umumnya diam dan tertegun saja saat melihat ayunan cangkul penggali kubur.
Tiga bocah yang berusia siswa SD ikut melihat pemakaman itu yang bagi warga sekitar merupakan pemandangan yang sudah lumrah. Usai pemakaman, seorang tokoh masyarakat menengadahkan tangan dan melafalkan doa.
Semua tengah beranjak pulang ketika seorang warga, dengan muka tertunduk seperti berbicara kepada dirinya sendiri; “Cukup baik nasib rakyat Aceh, satu persatu masuk kuburan.” [A]-
----Artikel ini dimuat di situs acehkita.com pada tanggal 26 Oktober 2004, pukul 11:45:29 WIB.

Kilas Gampoeng : Perjalanan Bersama “Koresponden“

Unknown     03:39  
21 April 2006
Perjalanan Bersama “Koresponden
Penulis : Misrie - Aceh Utara, 2005-06-17 23:10:34
Siang itu, Selasa (14/6) hari sangat cerah. Sekitar sepuluh jurnalis dari berbagai media berkumpul di Lhokseumawe. Mereka sedang membicarakan tentang temuan uang palsu di Aceh Timur, Senin (13/6) lalu. “Itu hal baru di Aceh walau pernah orang-orang menemukan satu lembar atau dua uang palsu sebelumnya, tapi kan belum pernah di Aceh sebanyak itu,“ ujar seorang jurnalis televisi.
Tentunya bagi jurnalis yang bekerja untuk media yang berpusat di Jakarta harus berpikir sedikit tentang layak atau tidaknya sebuah berita itu untuk konsumsi nasional. Hal itu merujuk pada ditemukannya sejumlah uang palsu di Bandung beberapa waktu lalu. Karena itu, para jurnalis melangkahkan kaki menuju sebuah mobil kijang minibus untuk segera menluncur ke Aceh Timur.
Mereka memperkirakan dalam waktu 3 jam, perjalanan baru memasuki Kota Langsa. Sebanyak tujuh jurnalis dari berbagai media itu berangkat, namun perjalanan sedikit terganggu karena ada beberapa dari mereka yang belum makan siang. Tapi mereka akhirnya memilih untuk makan siang di perjalanan.
Perut yang semakin kosong dan butuh pasokan makanan, bertahan hingga 6 kilo meter perjalanan. Di Buket Rata, tepatnya di Warung Nasi Samalanga mobil kijang tersebut berhenti. Semua jurnalis di dalamnya turun dan menyeberang ke utara. Setelah semuanya selesai, mobil kijang kembali melaju ke arah timur.
Karena muatan di dalamnya berat terpaksa laju kendaraan sedikit lambat. Keude Punteut, Bayu dan Geudong terlewati, disusul kemudian Lhoksukon, Sampoinip, Alue Ie Puteh, dan Panton labu. Jembatan yang membatasi antara Aceh Timur dan Aceh Utara terlewati dengan tenang, bertemu dengan kecamatan Madat Aceh Timur, Simpang Ulim, dan Lhoknibong.
Tiba di sini, gerak laju mobil tiba-tiba sangat pelan, menyusul truk di depan mau nyebrang. Kemudian gas kembali di tancap pada posisi normal. Di perjalanan puluhan truk berukuran besar bertuliskan IOM di temui, berjejer menuju ke barat, begitu juga yang sudah kosong muatannya kembali ke Medan.
Truk-truk tersebut adalah pembawa logistik dan bahan bantuan untuk pengungsi tsunami di berbagai daerah. Ban mobil menapak di Kuta Binjei Kecamatan Nurul Salam. Sekadar untuk diingat, sekitar 12 kilo meter dari sini ada sejumlah pengungsi non tsunami yang sudah bertahun hidup di gubuk kecil dan di tenda darurat.
Mereka adalah warga Jambo Bale yang terpaksa mengungsi ke Seuneubok Bayu atau Alue Ie Mirah karena rumahnya dibakar oleh satu pihak yang bertikai di Aceh. Mobil terus melaju, pemandangan kebun sawit yang hijau menampakkan alam yang subur, indah di pandang mata mulai muncul di kawasan ini.
Begitu juga dengan pos penjagaan TNI dan Polri berjejer di kiri kanan jalan. Berbagai peralatan tempur seperti tank dan panser nampak di depas pos penjagaan itu. Saat perjalanan sampai Idi Rayeuk, tikungan tajam menanti. Di sini juga orang selalu teringat akan sebuah rumah bercat putih dengan konstruksi beton yang berjarak 200 meter dari jalan Medan–Banda Aceh yang tinggal puing.
Semasa GAM masih berkuasa, gedung putih itu kerap disinggahi para petinggi GAM semisal Alm. Ishak Daud. “Itu gedung putih tinggal Kenangan, “ ujar seorang jurnalis sambil menunjuk ke arah rumah itu. Tanpa sadar, perjalanan sudah sampai di Peureulak. Di kecamatan yang dalam sejarah Islam dikenal dengan daerah pertama masuknya Islam Ke Aceh yang dibawa seorang pedagang dari Gujarat pada Abad 17 itu masih terlihat ramai.
Peureulak tertinggalkan, pohon sawit yang rindang menjadi sumber ekonomi masyarakat kembali menghiasi kiri-kanan jalan. Lalu bertemu dengan Desa Alu Bue yang menurut para supir bis banyak terjadi penculikan dan sweping di kawasan ini. Gerak laju mobil semakin cepat karena jalanan mulai sepi, hingga bertemu dengan pusat kecamatan Sungai Raya.
Di kecamatan ini, Rabu (8/6) lalu seorang anggota Koramil Sungai Raya, Aceh Timur, Serka Jumadi (50) tewas ditembak pasukan GAM wilayah Peureulak, tepatnya di Desa Alue Itam, pukul 11.00 WIB. Menurut versi GAM, anggota koramil itu ditembak karena hendak memberikan pengarahan kepada masyarakat bahwa tidak ada dialog antara GAM dan RI di Helsinki Finlandia.
Perjalanan sampai di daerah Bayeun. Di kawasan ini pada (10/6/2004) lalu terjadi penumbangan 2 unit Transmisi Tower Listrik nomor 57-58 yang berada antara ujung Desa Alue Kumba yang berada di perbatasan Kecamatan Bireum Bayeun dan Kecamatan Sungai Raya, Aceh Timur.Listrik dari pembangkit listrik Sigura-gura Medan itu terputus selama beberapa hari.
Hingga membuat Kabupaten Aceh Utara, Bireun, Lhokseumawe, Aceh Tengah, dan Pidie gelap. Jembatan berkontruksi Baja Alue Itam berlalu, pemandangan di jalanan berubah. Angkutan kota mulai bertebaran untuk mengangkut sewa dalam jarak dekat. Hujan mengguyur ketika sampai di simpang Comandore.
Mobil yang ditumpangi para jurnalis lurus masuk ke kota. Karena saluran air kurang bagus, membuat air hujan menggenangi jalan.Hari semakin sore, air hujan membuat kaca depan mobil basah dan hawanya begitu dingin. Namun tidak menyurutkan semangat para jurnalis dari beberapa media ini untuk meliput temuan uang palsu di Mapolres Aceh Timur.
Sekitar pukul 16.00 WIB, para jurnalis yang datang dari Lhokseumawe sampai di depan Mapolres Aceh Timur. Di sana mereka langsung menjumpai Iptu Bambang Rubiyanto, Kasat Reskrim Polres Aceh Timur. Proses pengambilan gambar dan keterangan usai. Uang palsu yang berjumlah Rp. 9 juta bersama 5 tersangka terabadikan.
Hujan sedikit mereda. Mengingat jarak tempuh yang lumayan jauh, mereka meminta pamit untuk kembali. Sang Sopir yang sudah terbiasa dengan perjalanan jauh tidak meminta digantikan posisinya. Di tengah tenangnya laju kendaraan, tiba-tiba lampu rem di bagian belakang sebuah truk menyala. Beberapa personil Brimob terlihat di sana.
Mereka sedang memeriksa sebuah mobil penumpang jenis jumbo jalur Lhokseumawe-Kuala Simpang. Pemeriksaan usai, truk bergerak ke depan dengan diikuti mobil yang ditumpangi para jurnalis. Dengan tangannya, seorang anggota Brimob meminta untuk berhenti. Sopir pun dengan pelan menginjak rem hingga mobil benar-benar berhenti.
Lewat kaca samping depan anggota Brimob bertanya, “dari mana Kalian? Seorang jurnalis yang duduk di kursi depan tanpa sungkan menjawab, “dari Aceh Timur, kami dari Pers, Pak,” jawabnya. Apa itu Pers? Tanya anggota Brimob.Sang jurnalis itu untuk memperjelas menunjukkan Id Card dari media tempat ia bekerja yang tergantung di lehernya.
Anggota Brimob memegang dan memperhatikan secara seksama. Lalu dengan nada rendah mengatakan, O..O...O...O...O...O......Kores....Ponden.Ungkapan keheranan dengan nada panjang dari anggota Brimob itu melahirkan tertawaan dari para jurnalis hingga memecahkan keheningan senja itu. [asf]
-----Artikel ini dimuat di situs acehkita.com tanggal 17 Juni 2005, pukul 23:10:34 WIB.

Popular Post